Senin, 26 Februari 2018

Saksi Bisu

Perempuan muda itu mondar-mandir di dalam flatnya. Semua tirai ruangan dibiarkan terbuka dengan jendela tertutup rapat. Ruangan itu sangat terang karena semua lampu dinyalakan.

Sudah seminggu ini aku memperhatikannya. Sebenarnya kami sudah tinggal bersama cukup lama namun kami tidak saling mengusik demi privasi. Ada aturan tak tertulis yang kami sepakati. Dan dalam hatiku, aku berjanji akan menjaganya karena ia telah sangat baik membiarkanku tinggal bersamanya.

Ia perempuan cantik yang tinggal sendiri di dalam sebuah flat yang berharga sekitar 2 M. Sesekali seorang laki-laki tampan datang mengantar ini dan itu dengan percakapan singkat kemudian pergi lagi. Kupikir laki-laki itu kekasihnya namun melihat ekspresi keduanya yang hambar kurasa lelaki itu hanyalah kurir.

Aku menyimpulkan ia kesepian dan ... depresi. Karena kulihat ia sering duduk dengan posisi sembarangan di sofa, rambutnya digulung ke atas sekenanya. Sementara, matanya menatap lurus ke arah layar TV yang menyala. Meski aku yakin ia tak memperhatikannya. Sebatang rokok sering terlihat terselip di jemari kanannya. Ia habiskan berbatang-batang rokok. Puntungnya tak diletakkan dengan benar di dalam asbak hingga tercever di atas meja. Membuat meja putih itu kusam. Di sekitar asbak, dua kaleng bir telah robek mulutnya. Di dekat kaleng, terdapat palstik kecil berisi dua bungkusan kecil dari kertas. Mirip seperti bungkusan obat gerusan dari apotek. Anehnya, ia menghisapnya.

Asap rokok bergulung-gulung di ruangan dingin karena AC. Asap itu sangat menyesakkan paru-paru.  Entah mengapa ia bisa menikmati itu.

Menurutku itu tidak baik. Aku sudah pernah memberitahu tetapi ia tak peduli.

Kadangkala perempuan yang sering bercelana pendek dipadu tank top dan selembar piyama tanpa diikat dengan benar itu, mondar-mandir di depan jendela kamarnya tanpa meninggalkan rokoknya sedikitpun.

Aku tidak tahu macam perempuan apa ia. Yang aku tahu ia cantik, bahkan sangat cantik meski tanpa gincu merah darah di bibirnya atau celak hitam di sekelilingnya, atau berbagai jenis bedak pelapis mukanya.  Aku suka melihatnya natural, aku pernah mengatakan itu tetapi ia abai.  Hidungnya mungil tetapi meninggi. Bibirnya penuh dengan bentuk tegas. Alisnya yang tebal, menjadi ciri khas perempuan Asia. Sempurna kupikir. Konsep apa yang ada di kepalanya.

Aku ikutan gelisah melihat tingkahnya yang mencurigakan. Hampir tiap malam ia berdiri di dekat jendela memandang ke bawah sana. Tidak terbayang benda yang jatuh dari flatnya, lantai 38. Hhhh, buatku itu mengerikan. Membuatku merinding. Aku takut ia berpikir buruk.

Aku terkejut ketika terdengar suara pintu dibuka. Ah, rupanya aku tertidur setelah menjadi spy selama seninggu aku kelelahan. Dimana ia? Aku celingukan mencarinya. Ooh, ia di atas balkon, apa yang ia lakukan?
Tidak-tidak, jangan ... jangan lakukan! Aku berteriak kuat-kuat namun ia tidak mau mendengarku.
Dimana ia? Aky terkejut dan panik karena tiba-tiba ia tak ada. Kujulurkan kepalaku untuk melihat ke bawah "Hhhh, "segera kutarik kepalaku. Ooh, syukurlah tidak ada.
Apa mungkin ia kembali ke dalam?
Aku masuk melalui pintu yang terbuka, "Tumben?" pikirku.

"Ooooh, tidaaak." Teriakku. Aku cepat-cepat berlari mendekatinya. Tubuhnya telentang di atas sofa dengan kepala dan tangan terkulai lemah.  Ada busa keluar dari mulutnya. Dan sebotol cairan asing yang belum pernah kulihat. Itu bukan bir atau whiski. Apa pria muda itu yang menganyarkan benda itu?
"Apa ia mati?" Aku menahan napas. Tubuhku berasa lumpuh  ketika tak kutemukan denyut nadi di pergelangan tangannya. Sesaat aku larut dalam kesedihan.

"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?"
Perlahan aku berjalan, merayap ke dinding dan menekan tombol darurat yang menempel di dinding dwngan lidahku.

Minggu, 18 Februari 2018

I am out of the road

I am out of the road
Finding me outside
By walking out of me
Swimming in the air
Breathing in the crowd
Sinking in the water

I am out of the road
Finding you inside me
By walking in me
Swimming in my heart
Breathing in my lung
Sinking in my mind

I am out of the road
Finding you and me
In the same vibration
In a foreign line
Outside of ourselves

Sabtu, 10 Februari 2018

Kisah Cipenjo 2

Bulu kudukku berdiri kala mendengar berita itu. Dua jam sebelumnya aku melewati tempat tersebut.  Terus terang akupun terpaksa bila harus melaluinya. Hanya karena ada keperluan di mesin ATM atau belanja kebutuhan bulanan.

Berita itu cepat tersebar seantero Cipenjo dan membuat geram para bapak dan gundah para ibu. Kekhawatiran menyelimuti perasaan hampir setiap rumah. Bukan hanya penjambretan sebagai pemicunya namun berkembang menjadi isu penculikan anak maupun pencurian. Suasana mencekam selama beberapa hari ke depan.

Para warga kembali meningkatkan kewaspadaannya dengan menghindari jalan-jalan dan jam-jam sepi.

Aku pun demikian. Menghindar dari tempat itu.

Umumnya masyarakat akan meningkatkan kewaspadaannya hingga suatu hari mereka telah merasa aman dan lengah kembali. Di saat itu para penjahat kembali beraksi. Mereka membaca situasi dengan baik. kemudian kekhawatiran demi kekhawatiran itu akan terus mengumpul lalu memuncak dan akhirnya justru menjadi kurang waspada.

Aku mencoba menenangkan diri dengan mengumpulkan semua pertanyaan dan jawaban. Akhirnya kudapatkan bahwa segala bentuk ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan adalah bagian dari ujian hidup. Kalau kita sandarkan itu semua pada Allah, maka hati kita akan tetap tenang. Allah bersama kita. Kewajiban kita adalah tetap waspada.

Dan aku hanya bisa berdoa pada wanita itu setelah kudengar kabar bahwa wanita korban penjambretan itu dipindahkan ke rumah sakit yang lebih komplet peralatannya karena luka di kepalanya menyebabkannya koma. Sungguh tak bisa kubayangkan. Karena peristiwa luka di kepala dan koma ini mengingatkan peristiwa bertahun-tahun lalu. Bapak.

Tak urung air mataku menetes. Rindu dan sedih mengenang masa bersamanya. Semoga Allah senantiasa mengampuninya dan memberi tempat terbaik di sisi-Nya.

***

Kisah Cipenjo 1

Pukul 10.40 pagi.
Wanita muda itu ragu-ragu hendak pergi, antara malas dan ingin. Namun, keinginannya untuk makan pisang goreng hangat  memaksanya mengganti pakaian rumah dengan abaya dan kerudung. Tak lupa ia menyelempangkan sebuah tas kecil di bahunya.

Biasanya ia akan meminta laki-laki yang selalu dipanggilnya Bang Jo, untuk mencarikan apa-apa yang diinginkan. Namun, hari ini Bang Jo berangkat bekerja lebih awal. Tak ada orang lain yang bisa disuruh. Karena mereka hanya tinggal berdua.

Kalau bukan karena sedang hamil, ia akan membiarkan keinginan tiba-tiba itu menguap dengan sendirinya. Sementara kini, semakin dibiarkan keinginan itu justru  membesar.

Setelah membayar beberapa buah pisang goreng dengan selembar Rp 20.000, 00 dan menerima kembalian, wanita itu bergegas pergi. Senyum tipisnya mengembang saat ia membayangkan nikmatnya pisang goreng hangat bersama teh manis. "Ah, kayak ngga pernah makan saja"  pikirnya geli.

Malang tak bisa ditolak, ia tak menyadari, sebuah sepeda motor dengan dua pengendara berhelm telah membuntutinya semenjak dari kios pisang goreng yang ada di depan toserba besar itu.

Di belokan jalan, motor itu merapat dan "sreet" , penumpang motor menarik tas selempang dengan kasar dan kakinya menendang motor si wanita muda "buk ...bug ...." Wanita dan motornya terjatuh di atas aspal jalan dengan kondisi terpisah. Perempuan itu tak sempat melakukan perlawanan apa-apa oleh serangan mendadak itu. Ia terkapar, kepalanya membentur aspal dengan keras. Wanita itu pingsan dengan darah mengalir dari sisi belakang kepala.

Penumpang motor turun hendak mengambil motor si wanita.
"Hei ... hei ...." Seseorang yang sedang makan berteriak dari kejauhan. Ia berlari ke luar. Penumpang itu menoleh lalu berbalik, buru-buru naik ke boncengan dan motor digeber kencang-kencang melarikan diri.

Teriakan orang itu menggugah perhatian beberapa orang yang ada di sekitarnya. Mereka segera berlarian mengikuti orang itu ke tempat si wanita terjatuh. Suara kepanikan dan ribut mengungkap kejadian itu.
"Aku lihat saat motornya merapat. Tapi tidak menyadari kalau itu jambret."
"Ooh berdarah ... Ya Allah, kasihan sekali!"
"Innalillaahi ... siapa yang berbuat keji ini?" Teriak seorang lelaki botak dab gendut. Ia nampak begitu gemas.
"Orang mana ini?" teriak orang di belakang.
"Bawa ke rumah sakit saja, Pak!" Seseorang mengusulkan
"Oh, itu tetangganya Bu Giyo!" Kata seorang wanita setengah baya yang ikut berkerumun.
"Hubungi suaminya ... cepat!"

Ada juga yang mengambil gesit mengeluarkan handphone dan "klik ... klik ... " Orang itu mengambil beberapa gambar lalu membagikan ke grup kompleks sebelum  ia turun tangan membantu menolong si wanita. Seseorang mengeluarkan mobil dari garasinya dan mereka mengangkat tubuh pingsan itu ke dalamnya. Seorang wanita ikut duduk di dalam mobil dan memangku kepala si wanita yang yang berdarah. Tangannya membekap kepala si wanita dengan kain kerudung yang tadi terlepas saat tasnya ditenggut paksa.  Motor dipinggirkan di warung di dekat kejadian. Dan seaeorang menghubungi suami si wanita.
 ***

Next.

Kamis, 08 Februari 2018

Bangkit untuk melawan

"Plak ... plak ... plak!"
"Aaww ... aawww ...sakiit!" 

Teriakanku tak mampu menghentikan benda keras yang terus saja menimpuki tubuhku. Bahkan makin beringas orang itu menyakitiki. Aku menggeliat, meronta ... berusaha melepaskan diri namun usahaku sia-sia belaka. Akhirnya aku menyerah, tenagaku sudah habis untuk melawan, kutunggu benda itu menyentuh tubuhku untuk kesekian kali. Aku memejamkan mata menahan napas. Beberapa menit kemudian kubuka mata setelah kusadari benda itu tak lagi menyentuh tubuhku. Syukurlah, rencanaku berhasil. Aku bernapas lega. Mungkin orang itu mengira aku sudah mati dan merasa puas. Kupasang kuping baik-baik setelah yakin, keadaan sepi, aku berani menggerakkan tubuhku.

Sakit di sekujur tubuhku berdenyut-denyut. Mula-mula aku berbalik, menggerakkan kaki-kakiku yang terasa nyeri pelan-pelan dan mulai merangkak, menjauh dari tempat keji itu. Akhirnya aku menemukan tempat yang kupikir aman untuk bersembunyi, di balik dinding lebar. Tubuhku bersandar pada dinding itu  dengan posisi senyaman mungkin agar bisa melemaskan sendi-sendiku. Ketika mataku menatap lurus ke depan, aku berteriak, "Ooh Tuhan!" Sedetik kemudian tanganku sibuk menutup mulut. Napasku tersengal-sengal menahan amarah, tangis, dan berbagai rasa yang bercampur aduk. Gundukan di depan sana ... adalah tumpukan bangkai saudara-saudaraku. 

Aku menangis di antara luka batin dan badan.
"Aku ... masih tahan atas luka di tubuhku ini namun kematian sadis saudaraku, menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping.
Bagaimana aku tidak menyadari ini petaka? Apa yang bisa kulakukan sekarang?"

Aku mencoba memikirkan langkah selanjutnya.
Aku tahu, tak mungkin melawan dalam kondisi seperti ini atau mengubur tubuh saudara-saudaraku.

Aku terpaksa harus menghindari kenyataan pedih dan mengabaikan tubuh saudara-saudaraku  untuk menyusun rencana berikutnya. Langkahku selanjutnya akan mewakili langkah saudaraku. Yang pertama adalah aku harus sehat terlebih dahulu kemudian mempersiapkan diri untuk membalas semua sakit hati. Dan itu butuh wakty agak lama.
.
Tubuh penuh luka itu beringsut sedikit demi sedikit. Menjauh dari tempat itu sejauh-jauhnya. Napasnya terengah-engah pertanda ia menguras seluruh tenaganya. Namun, tak ada lagi keluh kesakitan. Karena dalam hati telah terpatri sebuah keteguhan dan visi yang jelas di kepalanya. Ia telah menjadi kuat setelah pukulan hidup yang ia terima.

***
#kisahseekorkecoa


Sampaikan Rinduku

Angin ... bila kau bisa membantuku
Sampaikan salam dan beritaku

Pada pusara diam nun jauh di sana
Di tempat sepi yang orang hanya datang bila terpaksa

Sampaikan padanya
Doa dan rinduku tak pernah pupus
Untuk orang yang mengenal diriku lebih dari diriku sendiri

Aku telah belajar darinya
Meski terlambat memahami
Tak akan percaya orang lain penuh-penuh
Karena mereka tak akan menaruh perhatian
Penuh-penuh pula padaku
Tak kan pula bicara banyak-banyak pada mereka

Aku percaya pada diri sendiri
Pada naluriku
Pada hatiku

Aku akan mengurus diriku sendiri, Ayah
Kini kutahu bagaimana menjadi diri berbeda
Dan memperlakukan diriku sebagaimana yang kuingin

Rabu, 07 Februari 2018

Cinta

Bukan tentang yang kau rasa
Tetapi bagaimana kau merasa

Setiap sel tubuhmu bergejolak
Hidup dari kematiannya

Tak bisa kubilang tidak
Kala bola matamu bergerak lincah
Seolah menghimpun dunia di dalamnya
Seolah matahari kembali muncul setelah bumi membeku

Bagaimana kubilang tidak
Bila caramu merasa membuatku kelu
Lumpuh
Hilang daya
Dan menangis?

Cinta ...





Minggu, 04 Februari 2018

Bukan itu yang kuingin (2)

Lalu laki-laki asing yang membuatku takut bermenit lalu itu, tiba-tiba mengoyak jahitan luka yang belum sembuh dengan bertanya Hussam padaku. Hidungku pengar, mataku memanas, dan dadaku sesak. Aku berusaha keras menahan danu air mata melimpah. Namun, tak sanggup. Jadi kubiarkan diriku sesenggukan, menangisinya lagi. Aku menangis karena kecewa. Kecewaaaaa .... karena Hussam meninggalkanku tanpa bicara apa-apa.

Orang asing ini membiarkanku tersedu-sedu beberapa lama lalu memanggil namaku, "Lola ..."
Ah, seolah itu Hussam saja. Aku menyusut pilu. Menenagkan diri dengan menghirup napas dalam berulang-ulang. Dan, lelaki berhidung bengkok yang entah apa maksudnya ini menyodorkan sapu tangannya. Ragu aku menerimanya.
"Kau sudah tenang kini?" Tanyanya hati-hati. Bahasa inggrisnya bagus sekali, dengan logat Timur tengah sedikit. Aku mengagumi caranya berbicara. Ia aneh tapi sangat tenang. Membuatku percaya padanya. Aku mengangguk untuk menyampaikan padanya bahwa aku sudah siap mendengarkannya.
"Lola, aku menyampaikan sebuah amanh dari Hussam."
"Ah, lagi-lagi ..." Aku melengos.
"Kau tak ingin mendengar?"
Kutatap matanya yang hitam, sebuah kejujuran memancar dari sana. "Baiklah, katakan saja!" Perintahku. Aku sudah yakin aku bisa menerima kabar pahit yang akan ia sampaikan.
Ia menghela napas, membuatku curiga dan tidak sabar.
"Hello ...just tell me. Who are you and what messages?"
"Okay ... Aku saudara dekat Hussam ...."
"What??" Teriakku
"Tenang, Lola!"
"Aku tenang, hanya terkejut dan marah. Mengapa ia tidak menemuiku sendiri."
"Itulah yang ingin kusampaikan!" Aku diam, memasang kuping.
"Hussam ... meninggal dua minggu lalu."
"Ooh ... !" Aku menggelengkan kepala. Meyakini bahwa ini tidak benar. Tangisku pecah lagi. "Tak mungkin" kataku lemah. Tenagaku habis oleh berita itu dan lupa segala yang kudengar dan kulihat. Pingsan.

"Kau baik-baik saja?" Ia menyodorkan sebotol air ketika aku siuman dan berusaha duduk dengan benar. Beberapa orang tampak mengerumuniku, termasuk Toni. Aneh. Ia tidak panik melihatku down begitu. Mencurigakan tetapi aku tak mau memikirkannya. Orang-orang berlalu tanpa banyak tanya, termasuk Toni. Sekali lagi aneh.

Setelah aku bisa mengendalikan diri, laki-laki itu menunjukkan foto-foto kecelakaan mobil, saat Hussam  opname dua minggu karena kritis, dan saat pemakamannya. Ya, itu foto Hussam. Ia mengumpulkan semua berita itu untuk disampaikan padaku bahwa itu fakta, bukan bualan. Aku menghapus air mata, menyesal dan sedih sekali. Benar. Ia pergi tanpa pesan.

Laki-laki di sebelahku melanjutkan, "Ia membeli sesuatu dari toko emas pada hari nahas itu dan saat masa kritisnya ia menyuruhku mencarimu sebagai gantinya. Ini."Aku menerima benda kecil yang dibungkus rapi dan berpita merah itu dengan tangan gemetar, sementara air mata masih saja menetes, mengaburkan pandanganku sesekali.
"Bukalah agar kita tahu apa isinya."
Aku menarik simpul pita lalu menyobek kertas pembungkus dan membuaka tutup kotak kecil berukuran  3 x15x20cm.
Kilauan kuning memancar dari dalam kotak.  Ada sebuah kalung emas yang indah dengan liontin : Lola. Aku menarik secarik kertas yang terselip di tepi kotak. "Wear me ... hussam."
"Ooooh ... Maafkan aku Hussam... Maafkan. Aku bukan menginginkan ini namun menginginkanmu." Aku hanya bisa berteriak-teriak dalam hati. Lalu enyerahkan kotak berserta isinya kepada pria asing itu dan berlari ke toilet sambil terisak-isak.

Pria asing itu tak tahu harus berbuat apa. Ia menunggu saja di tempatnya semula. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa Hussam mencintai gadis ini yang hanya pelayan kafe. Aku tahu Hussam seumur hidupku.  Ia tak mencintai sembarang orang.

Bukan itu yang kuingin (1)

"A cup of coffee, please ...."
"Less sugar!" Aku menyahut sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Lalu kami tersenyum bersama-sama.
"Amboi, manis rupa senyumnya itu." Gumamku sembari meliriknya kembali.  Ia duduk di meja terdepan. Sendirian.
Tanganku sudah sibuk menuang air panas ketika ia berseru beberapa kali sambil melambaikan tangannya. Toni menyikut lenganku lalu menunjuk pria itu dengan dagunya. "Suddently, I want some coffee with milk! So, make one for me!" Matanya tajam, membuatku gugup dan aku hnya sanggup mengangguk- angguk dengan hati masygul.

"Ia pria tampan, Lola!" Goda suara dalam hatiku.
"Sst, diamlah. Aku sudah tahu semenjak pertama." Kata suara yang satunya lagi.
"Lalu, kenapa kau biarkan saja dia?"
"Apa maksudmu? Aku bukan wanita penggoda."
"Setidaknya kau tanyalah orang mana dia itu?"
"Entahlah, aku suka melihat hidungnya, matanya, alisnya, dan senyumnya ...."
Kedua suara itu terus saja bercakap-cakap ketika sebuah suara lain datang menghampiri kesadaranku.
"Lola ... Lola ....!"
"Eh, ya ya?"
"Kau ini ceroboh. Kau menumpahkan susunya! Dan orang itu menatapmu terus."
Aku segera menyeka tumpahan susu dan membersihkan cangkir dari ceceran susu dan memeriksa apakah takarannya tetap pas. Aku bernapas lega saat semua beres. Syukurlah.
Aku melirik, "Oh jadi bukan perasaanku saja ya yang bilang begitu?" Aku menyadari tanganku gemetar.
"Ton, tolong antar ini ke tuan itu. Aku mau ke belakang dulu!"  Kataku sambil berlalu.
Namun, tangan Toni telah memegang lenganku, menahanku agar tidak menghindar. Aku diam sejenak.
"Apa Toni sama curiganya denganku?" hatiku gelisah. Aku tak mau membawa nampan dalam tangan gemetar. Tetapi, pandangan mata Toni menyerangku dan mengatakan 'harus profesional'. Mau tak mau aku mengantar sendiri kopi itu.
Gila, ia mengawasiku.
"Your coffee, Mr!" Sapaku lemah.
"Thanks!" Matanya sesaat beralih ke cangkir kopinya. Lalu menggesernya agar lebih dekat padanya. Namun sedetik kemudian, ekor mataku menangkap bola matanya yang hitam kembali mengawasiku.
Tiba-tiba aku jadi takut. Pesonany mendadak sirna.
Buru-buru aku kembali dan menuju toilet setelah meletakkan nampan begitu saja.

"Ooh, siapapun tahu kalau cara mengawasi orang lain seperti itu tidak sopan. Bahkan membuat takut." Kataku pada diri sendiri.
Aku memandang cermin. Tak ada orang ataupun cctv di situ jadi aku bebas bicara.
"Jangan-jangan ia menghadangku di jalan nanti. Ah, aku numpang nginep di kosan Tia saja." Aku mengatur napas banyak-banyak hingga pikiranku tenang.
"Tidak perlu takut, kamu bisa berteriak." Entah suara dalam diriku yang mana lagi yang tiba-tiba mendukungku.

"Aaww ..." Sebuah tangan menutup mulutku dan mataku terbelalak ketika menyadari orang itu adalah si Arab.
Jarinya diletakkan di mulutnya, menyuruhku diam dan tenang. Lalu dia menyilakanku duduk di kursi panjang di dekat toilet. Gelagatnya nampak baik jadi aku menurut.

"Are you, Lola?" Tanyanya setelah ia duduk di sampingku dengan sedikit jarak.

"Do you know Hussam, from Turkey?"
Aku mengangguk cepat-cepat. Tentu saja aku tahu. Ia berjanji akan datang sebulan  lalu untuk meminangku. Dan aku percaya padanya."Just wait me, I will come." Dan keterlambatannya ini melukai  pikiran dan hatiku. Kukonfim dia melalui messeger dan whatsapp, masuk tetapi nihil jawaban. Aku sudah menangis banyak tetapi Toni, sahabatku itu bilang "Menangislah sekali saja untuknya dan lupakan."
***
See the next


Meminum kopi

Aku selalu minum kopi setiap hari. Hampir tidak pernah tidak. Dan aku usahakan maksimal dua cangkir saja sehari.
.
Akhir-akhir ini segelas kopi instan dengan susu atau krim tak lagi banyak berpengaruh padaku.

Aku bangun pukul satu ketika suami membuka pintu kamar anak dan tiba-tiba bertanya, "siapa yang buka pintu?"
Ia harus mengulangi beberapa kali agar aku mendengar dengan jelas. Maklum, kesadaranku masih setengah. Aku bangun dan berpindah tempat, menemaninya. Karena aku tahu dalam kondisi itu, ia takut tidur sendiri. Haha ....

Aku terbiasa tidur berpindah-pindah tempat antara kamarku dan kamar anakku. Hampir setiap malam aku menemani si bontot tidur. Ia akan berteriak memanggilku saat dini hari menyadari aku tak ada di sampingnya. Padahal ia tidur sekamar dengan kakaknya.

Setelah ia lelap, aku pindah menemani suami yang dihinggapi mimpi (haha), aku berpindah lagi ke kamar anakku karena si bontot memanggil. "Haus!" Katanya.
Aku pergi ke dapur mengambil air untuknya. Namun ketika kulihat jam sudah jam empat, aku urungkan niat untuk tidur lagi. Padahal badan ini masih cape dan cuaca dingin, sangat mendukung untuk tidur lelap beberapa setengah jam lagi. Kutunggu jam hingga pukul setengah lima hingga akhirnya aku bangkit dan melangkah ke dapur, menjerang air dan kutinggal shalat subuh. Pukul 6 semua makanan sudah siap. Tinggal siap-siap mengantar ke sekolah.

Udara masih dingin, ditemani satu dua gerimis. Aku langsung pulang ke rumah dan sudah berencana membuat kopi panas yang lezat.

Setelah itu aku duduk di atas kursi menghadapi buku bacaan, buku tulis, ballpoin, dan kopi. Namun, setelah beberapa teguk, kepalaku sudah terkulai di atas meja. Tertidur.

Aku bangun ketika anakku berteriak minta makan. Aku kesal karena terlelap. Lepas dari kontrolku hingga aku lelap beberapa detik. Karenanya segera kubuka google dan kucari tema : ' cara tepat membuat kopi'.

Hhh ... akhirnya kudapatkan apa yang aku cari.
Seorang pemilik kedai bernama Sugiono yang tinggal di daerah Temanggung bilang kalau komposisi kopi yang tepat untuk bisa merasakan 'taste'-nya adalah satu sendok kopi diseduh dengan sepuluh sendok air panas (PR, berapa ml kira-kira tuh?), tanpa gula. Kalau mau ya dicampurnya susu bukan gula. Cara minum terbaik adalah diseruput (ah, kalau ini mah caraku juga).

Maksudnya bisa merasakan 'taste, adalah kopi itu mempunyai ciri khas masing-masing berdasar tempat tumbuhnya.  Karena lingkungan tumbuhnya sangat berpengaruh pada kadar kafein dan rasa. Makanya ada istilah kopi lampung, kopi Aceh, kopi Gayo, kopi Temanggung dan sebagainya. Para penikmat kopi akan tahu bedanya. Tidak sepertiku yang tidak mampu membedakannya.

Aku hanya peneguk kopi biasa.

Sebenarnya aku tahu bahwa kopi item lebih bermanfaat ketimbang plus gula, plus krim/susu. Tapi ... aku wanita manis yang suka manis-manis hehehehe. "Sssst!! Jangan bilang-bilang! Tidak promosi haha ...."

Nah, saat browsing, aku juga mendapatkan informasi bahwa  tiap daerah mempunyai cara sendiri dalam meminum dan membuat kopi lezat versi mereka. Misalnya, di Eropa tengah (Italia, Spanyol, Jerman) lebih suka kopi pekat seperti espresso (tahu kan? Yang tanpa tambahan air dan gula, pekaat banget pokoknya) sementara di Eropa timur suka yang cair ataupun sedang.

Untukku sendiri, aku suka kopi instan yang praktis dan mudah bikinnya. Sementara suami suka kopi item dengan gula sedang. Dahulu selalu kuberi kopi susu saat ia minta karena kupikir lebih soft kadar kafeinnya, akhirnya ia tahu, perutnya hanya cocok dengan kopi item. Sip deh kalau begitu. Murah haha.

Dan aku masih memilih-milih merk kopi instan yang nyaman di perutku. Karenanya aku tidak menetapkan satu jenis merk kopi instan sebagai favoritku. Kadang aku memilih kopi tanpa ampas dengan campuran krim/ gula/ susu. Kadang kopi bubuk dengan gula saja.

Kini, setelah beberapa menit berlalu, kupikir aku butuh kopi item dengan susu di pagi hari. Dengan komposisi 1 : 10.
Agar ia membantuku berpikir strong.

Kamis, 01 Februari 2018

Mengapa Cemburu?

Cemburu (jealous) muncul karena ada perasaan  iri terhadap kelebihan atau keadaan orang lain .
Kata orang, 'Iri tanda tak mampu.'
.
Mari kita lihat definisi cemburu (jealous) menurut Wikipedia :
Jealous is an emotion, the term generally refers to the thoughts or feelings of insecurity, fear, concern, and envy.
Over relative lack of possessions, status or something of great personal value, particularly in reference to a comparator."
.
Wow, ternyata ya? Suatu perasaan yang sungguh perlu dikelola dengan baik juga rupanya. Artinya kita harus meletakkan emosi ini dalam porsi yang wajar. Tidak berlebihan dan tidak kurang. Cemburu yang berlebih disebut cemburu buta. Cemburu yang kurang disebut tidak peduli (Cuek).

Menurut pendapat saya, cemburu itu dibutuhkan sebagai alat pendeteksi kepekaan kita, sebagai pengukur kesabaran, dan sebagai momen melongok ke dalam diri kita. Berdasar pengertian wikipedia di atas, orang yang cemburu itu tersinggung bahwa ada yang lebih baik dan lebih hebat dari dirinya.  Jadi, cemburu seharusnya bisa dijadikan pecut untuk memaksa diri kita berusaha lebih giat agar kualitas diri kita menjadi sama baiknya atau lebih baik dari orang yang kita cemburui.

Umumnya orang cemburu pada skill, hasil karya, kualitas, penampilan fisik, kekayaan, dan masih banyak lagi yang bisa kita sebutkan.

Cemburu menimbulkan rasa tidak suka, benci, amarah, bahkan antipati.  Maka di dalam agama islam, kita diajarkan untuk selalu melakukan tabayun baik pada orang lain maupun pada diri sendiri. Lakukan dialog dengan diri  sendiri supaya kita mampu mengurai apa sebab, apa akibat, dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar tetap wajar.

Apapun itu sebabnya, jangan jadikan cemburu sebagai kebiasaan. Pasangan kita (bagi yang sudah punya) akan merasa bosan dengan sikap kita yang mudah cemburu karena umumnya memancing pertengkaran dan mencirikan ketidakpercayaan.

'Bila memang sudah dewasa secara umur, semestinya dewasa pula secara kepribadian.'
***

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...