Senin, 26 Februari 2018

Saksi Bisu

Perempuan muda itu mondar-mandir di dalam flatnya. Semua tirai ruangan dibiarkan terbuka dengan jendela tertutup rapat. Ruangan itu sangat terang karena semua lampu dinyalakan.

Sudah seminggu ini aku memperhatikannya. Sebenarnya kami sudah tinggal bersama cukup lama namun kami tidak saling mengusik demi privasi. Ada aturan tak tertulis yang kami sepakati. Dan dalam hatiku, aku berjanji akan menjaganya karena ia telah sangat baik membiarkanku tinggal bersamanya.

Ia perempuan cantik yang tinggal sendiri di dalam sebuah flat yang berharga sekitar 2 M. Sesekali seorang laki-laki tampan datang mengantar ini dan itu dengan percakapan singkat kemudian pergi lagi. Kupikir laki-laki itu kekasihnya namun melihat ekspresi keduanya yang hambar kurasa lelaki itu hanyalah kurir.

Aku menyimpulkan ia kesepian dan ... depresi. Karena kulihat ia sering duduk dengan posisi sembarangan di sofa, rambutnya digulung ke atas sekenanya. Sementara, matanya menatap lurus ke arah layar TV yang menyala. Meski aku yakin ia tak memperhatikannya. Sebatang rokok sering terlihat terselip di jemari kanannya. Ia habiskan berbatang-batang rokok. Puntungnya tak diletakkan dengan benar di dalam asbak hingga tercever di atas meja. Membuat meja putih itu kusam. Di sekitar asbak, dua kaleng bir telah robek mulutnya. Di dekat kaleng, terdapat palstik kecil berisi dua bungkusan kecil dari kertas. Mirip seperti bungkusan obat gerusan dari apotek. Anehnya, ia menghisapnya.

Asap rokok bergulung-gulung di ruangan dingin karena AC. Asap itu sangat menyesakkan paru-paru.  Entah mengapa ia bisa menikmati itu.

Menurutku itu tidak baik. Aku sudah pernah memberitahu tetapi ia tak peduli.

Kadangkala perempuan yang sering bercelana pendek dipadu tank top dan selembar piyama tanpa diikat dengan benar itu, mondar-mandir di depan jendela kamarnya tanpa meninggalkan rokoknya sedikitpun.

Aku tidak tahu macam perempuan apa ia. Yang aku tahu ia cantik, bahkan sangat cantik meski tanpa gincu merah darah di bibirnya atau celak hitam di sekelilingnya, atau berbagai jenis bedak pelapis mukanya.  Aku suka melihatnya natural, aku pernah mengatakan itu tetapi ia abai.  Hidungnya mungil tetapi meninggi. Bibirnya penuh dengan bentuk tegas. Alisnya yang tebal, menjadi ciri khas perempuan Asia. Sempurna kupikir. Konsep apa yang ada di kepalanya.

Aku ikutan gelisah melihat tingkahnya yang mencurigakan. Hampir tiap malam ia berdiri di dekat jendela memandang ke bawah sana. Tidak terbayang benda yang jatuh dari flatnya, lantai 38. Hhhh, buatku itu mengerikan. Membuatku merinding. Aku takut ia berpikir buruk.

Aku terkejut ketika terdengar suara pintu dibuka. Ah, rupanya aku tertidur setelah menjadi spy selama seninggu aku kelelahan. Dimana ia? Aku celingukan mencarinya. Ooh, ia di atas balkon, apa yang ia lakukan?
Tidak-tidak, jangan ... jangan lakukan! Aku berteriak kuat-kuat namun ia tidak mau mendengarku.
Dimana ia? Aky terkejut dan panik karena tiba-tiba ia tak ada. Kujulurkan kepalaku untuk melihat ke bawah "Hhhh, "segera kutarik kepalaku. Ooh, syukurlah tidak ada.
Apa mungkin ia kembali ke dalam?
Aku masuk melalui pintu yang terbuka, "Tumben?" pikirku.

"Ooooh, tidaaak." Teriakku. Aku cepat-cepat berlari mendekatinya. Tubuhnya telentang di atas sofa dengan kepala dan tangan terkulai lemah.  Ada busa keluar dari mulutnya. Dan sebotol cairan asing yang belum pernah kulihat. Itu bukan bir atau whiski. Apa pria muda itu yang menganyarkan benda itu?
"Apa ia mati?" Aku menahan napas. Tubuhku berasa lumpuh  ketika tak kutemukan denyut nadi di pergelangan tangannya. Sesaat aku larut dalam kesedihan.

"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?"
Perlahan aku berjalan, merayap ke dinding dan menekan tombol darurat yang menempel di dinding dwngan lidahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...