Minggu, 29 Oktober 2017

jalan utama dan cabang

Seseorang yang mengenal dirinya, ia tahu kemana dan jalan apa yang dilaluinya.

Perjalanan hidup manusia itu jelas adanya yakni melalui jalan utama yang lebar dan memiliki cabang-cabang.
Jalan utama itu merupakan perjalanan kita menuju tujuan hidup. Sementara jalan cabang adalah berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan kita yang membawa hati dan pikiran kita kadangkala berbelok, salah arah atau coba-coba.

Tidak ada yang salah dengan jalan cabang, selama kita tetap berfokus untuk menguasai pikiran dan hati kita. Jalan cabang memperkaya pengalaman dan memperluas ruang hati kita. Dengan kekayaan itu, hati dan pikiran kita bertambah dewasa sehingga mampu mengambil sikap dan tindakan cepat dan tepat.

Bagaimana pikiran dan hati yang dewasa itu?
Pikiran dewasa adalah berpikir positif dan mengarah ke depan.
Hati yang dewasa adalah hati yang sabar dan teguh pendirian.

Tahukah, bahwa kita yang telah mengenali jalan utama maka ia melihat jalan itu terang benderang? Seolah selalu diterangi oleh cahaya matahari atau lampu jalan berwatt-watt.

Sementara jalan cabang itu nampak remang-remang.
Kita butuh lampu untuk meneranginya.

Kalau mampu membuat jalan cabang bisa sama besar dan bagusnya dengan jalan utama maka lakukan. Namun bila tidak, stop. Fokus pada jalan utama kita.

Apa jalan utama kita? Tindakan atau passion kita.

Minggu, 22 Oktober 2017

Saat aku 'menggugat'

Ah, semua adalah tentang bisa menerima atau tidak kejadian yàng menimpa kita. Sadar atau tidak, baik atau buruk nasib yang sedang kita alami adalah bagian dari hidup kita.

Cara kita menolak atau menerima tentu saja menimbulkan konsekuensi. 

Andai menerima itu menyederhanakan cara hidup kita tetapi menjadi datar-datar saja mungkin kita bisa memilih menolak dengan kejutan-kejutan yang terjadi namun berdampak pada pemahaman dan peningkatan diri.

Lalu, aku ingat ketika dahulu aku protes pada Tuhan. "Tuhan, mengapa Kau beri aku keadaan yang lebih jelek dari mereka? Lebih tidak berharta, lebih tidak berilmu, lebih kampungan? Yang menyebabkanku tidak mendapatkan bahagia lahir yang sama dengan mereka?"

Saat itu aku hanya bisa mencerca keadaan, marah tanpa alasan yang jelas. Aku ingin tahu tetapi tidak tahu mesti bagaimana. Seperti bola bekel yang berputar-putar di dalam gelas dan tidak bisa ke luar. Kebayang nggak?

Bukan salah bunda mengandung, bukan pula salah ayah membesarkan. Setiap orang dibebani kehidupan sesuai dengan kesanggupannya. Untuk dipikirkan, dicarikan jalan keluar, dan dinikmati. Tidak ada yang salah dari kehidupan. Karena hidup ini sama misterinya dengan diri kita.
Lalu aku mencari, apa maksud Tuhan dengan semua keadaan ini. Ah, pencarian yang sungguh lama dan menghabiskan seluruh hidupku. Bahkan hingga kini belum tuntas pemahamanku tentang maksud Tuhan. 

Setidaknya kini aku bisa menggarisbawahi hidupku dengan tinta merah, "Do what you think right. Feel by heart, think by mind obviously. Finnally, when you find yourself so you will understand your life."

That's it.

Now is now not the past or future.
And life is like a wave, rolling up and down. 



Jumat, 20 Oktober 2017

10 judul rencana cerpen

1. Rok span merah : bercertita tentang turis Colombia yang rupawan
2. Pigura Jembatan Palangkaraya : bercerita tentang kasih yang terputus
3. La Nyala 2: kelanjutan La Nyala episode sebelumnya
4. Cangkir merah Abah : Cerita tentang Abah Fikri
5. Gadis bisu yang jadi saksi
6. Game over : bercerita tentang pecandu game yang hidupnya ikut over
7. Tak ada hujan di Palu : bercerita tentang sebuah rindu
8. Ratu Kanvas
9. Motor Kreditan
10. Sunyi di dalam diri Riana
11. Aku bisa sepertinya (bonus hehe)

Menantang diri itu sungguh perjuangan besar. Namun, kapan lagi bisa tercapai kalau tidak betul-betul meluangkan waktu dan bersungguh-sungguh buat membesarkan mimpi?

Kalau bisa sekarang mengapa mesti menunfanya hingga esok? Manusia terlalu banyak menunda hingga tidak menyadari waktu terbuang percuma.

Berkeras hati pada diri sendiri jauh lebih baik daripada keras pada orang lain.

So, buktikan bahwa "Aku bisa sepertinya".

Senin, 16 Oktober 2017

Kasih Yang Tersisa

Aku mencium sesuatu di pagi hari dan ingin muntah. Sakit kepala semenjak kemaren membuatku tak bisa tidur nyenyak semalaman, menambah deritaku. Ada apa denganku? Berulang-ulang kutanya pada diri sendiri. Kutanya pada setiap inci tubuhku. Kepalaku, mataku, telingaku, perutku, dan semuanya. Tidak ada yang menjawab.

Lalu aku memutuskan bahwa aku sehat. Aku pergi mandi dan bersiap untuk pergi bekerja seperti biasa. Kupakai baju merah kesukaan dengan harapan memulihkan mood hari itu. Beberapa menit kemudian, aku telah mengendarai mobil dengan kecepatan sedang di jalan raya yang berarus normal.

Di separuh perjalanan, keanehan terjadi. Tiba-tiba pandangaku kabur. Setengah kesadaranku hilang dan dalam kegelapan aku hanya mendengar suara keras 'brakkkkk!' Sangat keras hingga menyisakan hitam dan sunyi di pikiranku.

Ketika akhirnya aku membuka mata di hari keempatbelas, semua yang ada di depanku nampak samar. Cukup ramai di sekelilingku namun tak kukenali mereka. Aku hanya mendengar sebuah suara lembut di telinga kananku, "Selamat datang, Sayang! Alhamdulillah, kamu selamat." Pelahan aku mengenali suara itu. Dia suamiku. Dari mulutnya pula aku mendengarkan semuanya. Itu adalah kecelakaan parah di hari senin pertama bulan Juli. Mobilku meluncur tanpa kendali menabrak sebuah warung di pinggir jalan hingga roboh. Kenyataan lain adalah aku hamil untuk pertama kali dan kehilangan untuk selamanya. Tak kan pernah bisa mengandung lagi, begitu klaim dokter. Kenyataan terakhir, aku cacat.

Oooh ....

Apa yang bisa kulakukan setelah tahu semuanya? Menangis, menolak, menyesal, atau komplain pada Tuhan? Tentu saja benang ruwet itu memenuhi kepalaku.

Aku menghirup udara segar. Membiarkannya mengalir ke setiap nadiku. Kecelakaan itu sudah terjadi dan akan menjadi masa laluku. Mau atau tidak, aku telah menjadi orang yang berbeda. Dari posisi puncak menjadi paling rendah. Aku bukan lagi orang paling top, paling pandai, dan paling cantik seperti orang-orang bilang di lawyer company terkenal itu.

Namun aku tetap menyimpan kata-kata termanis dari mantan suamiku di hari perceraian sebagai ganti dirinya, "Kau tetap ratu terbaikku. Kau yang mengangkatku dari jurang rendah menuju puncak!"

Ya, aku menggugat cerai agar ia bisa melanjutkan hidupnya meski dia menolak, menangis, dan memohon-mohon padaku. Aku tetap bersikukuh dan berjanji akan menyimpan air mataku sendiri.

Tak tahu caranya menemukanku setelah aku bersembunyi dari keramaian. Ia datang untuk pertama kali di tahun kelima pernikahannya dan rutin mengunjungiku setelahnya. Menemaniku seharian penuh seolah hendak mengembalikan masa lalu. Terkadang ia membawa serta istri dan atau anak-anaknya.

"Ooh, Tuhan! Tak perlu aku bicara banyak. Kau tahu apa yang terjadi di hati dan pikiranku."

Setiap kali melepasnya pergi, di atas kursi roda, aku memandang punggungnya dan membatin, "Andai kubisa bilang sesungguhnya setiap kau datang kau membalut luka dan setiap kau pergi kau membukanya kembali."

Untuk urusan ini aku merasa perlu bertanya kepada Tuhan tiap kali, "Mengapa Kau datangkan ia kembali padaku? Untuk apa? Agar aku menyadari ketulusannya?"

"Aku sudah tahu  dan memilih diam."
***
Prana, 17 Oktober 2017

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...