Selasa, 30 Januari 2018

Stay Cool

Stay/ keep cool means to remain calm.
.
"Stay cool, please!"
Bila Anda mendapat kalimat ini dari teman/ partner/ boss/ bawahan Anda or anyone else, ketika orang lain menyadari Anda dilanda amarah, reaksi apa yang Anda berikan?

Ada dua reaksi yang biasanya terjadi : the anger increased  (amarah meningkat) or decreased (menurun).

Meningkat apabila si penerima merasa tersinggung dengan teguran. Dan merasa dia telah melakukan hal benar.
Menurun ketika si penerima menyadari kekeliruan sikapnya.
Atau tak mau mendapat kesulitan lebih jauh bila bertahan pada amarahnya.

Siapapun bisa dilanda amarah dan saat amarah datang tak semua orang pandai mengendalikannya.  Kepandaian mengelola amarah menunjukkan kepribadian kita. Jenis temperamen atau bukan.

Tidak masalah orang bicara apa tentang kita. Yang terpenting sesungguhnya adalah posisi mana yang sebenarnya nyaman kita tinggali. Mudah marah dan meluapkan amarahnya atau bisa marah dan stay cool?

Semua kita tentu berpengalaman dalam hal ini. 
Kita butuh belajar untuk mendengar atau mempelajari kasus atau kejadian yang memancing amarah terlebih dahulu sebelum memutuskan perlukah marah atau tidak. 
"Hehehe. Enak banget ... "
"Yes!"
Semua teori itu nampak mudah dan akan mudah seperti kelihatannya bila kita telah teruji. 

Kita tahu bahwa saat kita marah, pikiran kita buntu, tak mudah berpikir jernih dan hanya diiputi kesal yang berlebih.  Tak mau mendengar penjelasan apapun. Dan biasanya kita akan menyesal kemudian. Kemudian terpikir untuk memperbaiki keadaan. Tentu saja ini mengambil waktu Anda yang seharusnya sudah digunakan untuk perkembangan selanjutnya bukan dihabiskan hanya untuk memperbaiki keadaan lagi dan lagi. 

Meski memperbaiki keadaan lebih baik dari pada yang tidak peduli sama sekali. Banyak jenis manusia di dunia ini. Dan sangat menarik untuk diperhatikan.

Ingat bahwa : Anger costs you and patient is free.

***



Senin, 29 Januari 2018

Bercermin dari Mandor Senan

Hampir setiap pagi aku melalui jalan mulus kecil selebar dua mobil. Jalan mandor Senan namanya. Entah sejak kapan aku suka dengan jalan ini.  Berangkat mengantar dan menjemput anak seringkali melalui jalan ini. Penghubung antara Metland Transyogi dan Metland Cileungsi (dahulu disebut Taman Cileungsi).

Pagi tadi pun aku melaluinya. Mengendarai sepeda motor dengan bermuatan penuh empat penumpang dan tas-tas. Secara sekilas aku melihat pemandangan menarik di satu sisi jalan itu.

Seorang ibu di atas sepeda motor, di belakang punggungnya melekat seorang bocah kecil berumur sekitar tiga atau empat tahun, berhenti di depan sebuah rumah dan kulihat sedang menoleh dan berteriak kepada anak gadis berusia SMP yang baru saja menutup pintu gerbang rumah tersebut dan mengambil pekerjàan rumahnya yang terbuat dari sterefoam dari jalan. Melihat bentuknya yang patah aku tahu telah terjadi kecelakaan atau keteledoran kecil yang menjadi awal hari yang kelabu bagi gadis berseragam biru putih itu.

Kulihat dari sikapnya yang hanya diam dan membereskan sterefoam itu ke dalam plastik besar yang membungkusnya. Aku tahu si gadis menahan duka. Ia memilih menelan bulat-bulat kalimat ibunya demi banyak hal. Pagi itu waktunya sempit,  kecelakaan sudah terjadi, ia sangat kesal dengan rasa yang bertumpuk namun tak boleh ia melawan ibunya. Dosa.

Aku tidak suka cara ibu yang kelihatan masih muda itu menghardik si anak gadis yang kuduga adalah anaknya sendiri. Karena mengingatkanku pada kesalahan-kesalahan sikapku pada anak-anak saat aku tak lagi mampu menahan sabar oleh tingkah polah mereka.

Sungguh aku tidak suka. Melihat wajahnya yang kaku, seolah diriku sedang bercermin. Alangkah jeleknya aku ketika sedang marah seperti itu. Tak seorangpun mungkin mau mendekat.

Tidakkah si ibu menyadari bahwa si gadis sedang berduka? Tentu saja tidak. Ia tidak tahu bahwa amarahnya menambah duka si gadis.

Si gadis tentu saja kecewa karena pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan hari itu juga, rusak. Entah apa yang harus ia katakan di sekolah. Kalau itu dinilai, tentu nilainya hilang atau berkurang. Kalau mendapat tangguh waktu untuk mengulang, ia akan membayarnya dengan tanggung jawab dan pelajaran berharga dan tentu saja 'luka cacat'.  Meski aku tahu itu seperti pekerjaan kelompok. Ditinjau berdasar kebutuhan,  bentuknya yang berupa sterefoam lebar yang dilapis kertas warna, biasanya dikerjakan secara berkelompok.

Aku tahu si gadis tak menghendaki celaka apapun. Namun, kurang telitinya membuat pekerjaan itu rusak. Pelajaran bagi dia adalah, ia mesti lebih memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia akan tahu ketika umur dan pengalamannya bertambah.

Aku tahu ibu itu tak menyadari saat itu sikapnya buruk. Karena ia berfokus pada pikirannya yang penuh dan rasa kesal yang minta diluapkan. Namun, ibu yang bijak akan segera menyadari bahwa sikapnya itu bodoh dan butuh diperbaiki.

Ooh, memang kadangkala kita adalah ibu yang buruk. Yang terbawa oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Yang tidak bisa melihat masalah yang sesungguhnya. Dari sisi lain.

Sungguh, banyak pelajaran yang harus dipetik dan dijadikan contoh. Dan banyak sikap yang harus diperbaiki.

Kita ibu dunia, karena saat melahirkan anak perempua, kita melahirkan calon ibu yang akan melahirkan anak-anak hebat. Ketika melahirkan anak laki-laki, kita sedang melahirkan para pemimpin.
.
Kita ibu, yang pertama dipanggil ketika anak kita lahir. Kita ibu yang seharusnya mengenali anak-anak kita sendiri. Kita ibu yang diberkahi perasaan lebih lembut dan peka.
Ibu yang menjadi guru, pendamping,  pembela, pelatih, dan masih sejuta peran yang bisa kita mainkan. Ibulah yang utama dan pertama. Maka Allah hadiahkan ibu kebanggaan, surga anak ada di bawah tapak kakinya. Lalu ....

Kita, ibu yang dianugerahi Allah kemuliaan itu atau bukan?

Minggu, 28 Januari 2018

A letter for Prana

Gadis berwajah Asia itu pias, air mata sudah tersusut habis dari kantung air mata. Ia duduk tenang di atas balkon lantai dua. Matanya menerobos gerimis yang turun seperti tirai tipis di depannya. Jauuh sekali ia memandang. Hingga berulangkali suara panggilan tak didengarnya.
"Prana ... Prana ....!"
Ia tetap diam, tak mendengar apapun di sekelilingnya. Bahkan guntur yang menggelegar baru saja, yang mengejutkan seorang perempuan yang sedari tadi memanggil-manggil namanya hingga berteriak tetap tidak  membuatnya bergeming.
"Oh, Tuhan, mengherankan sekali!" Gumam perempuan itu.
Sudah seminggu Prana bersikap demikian.
Perempuan itu mendekat, memeluknya lalu berbisik, "Lepaskan yang ada di pikiranmu, Nak! Ayo makan dulu."
Lalu perempuan berumur 54 tahun itu menyentuhkan sesendok bubur hangat di bibir Prana.
Gadis itu bergerak sedikit seperti menyadari sesuatu. Matanya seolah memandang wajah ibunya. Namun, nyatanya tidak. Bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak sepatah katapun keluar. Perempuan itu  tahu ia lapar tetapi tak hendak makan. Yang menyedihkan adalah ia tahu Prana patah hati namun ia tidak tahu mengapa sampai begini. Karena ini bukan yang pertama dan biasanya gadis itu akan ceria kembali.
"Nak, makanlah barang sesuap!" Perintah perempuan itu yang tak lain adalah Nyonya Helmi, ibu dari gadis itu.
Kekhawatirannya sudah berlebihan hingga ia meneteskan air mata. Ia coba menyuapkan kembali bubur itu dan nihil. Lalu ia menyampirkan sebuah selimut ke tubuh Prana agar tubuh itu merasa hangat. Malang, sedetik tangannya terangkat dari tubuh Prana, si gadis tiba-tiba terkulai lemas dengan mata memejam.
"Ayah ... Ayah ... !" Teriaknya panik memanggil sang suami.
Beberapa menit kemudian seorang lelaki datang tergopoh-gopoh sembari membetulkan sarung yang hampir melorot. Peci putih masih bertengger di kepalanya. Menandakan ia baru saja selesai shalat maghrib.
Berdua, kedua suami istri itu menggotong tubuh Prana ke dalam rumah. Menidurkannya di atas kasur busa lalu dengan sigap sang Ayah menelpon rumah sakit agar mengirim ambulan.
Nyonya Hesti berdiri dengan tubuh tegang. Sesekali tubuhnya membungkuk memeluk tubuh lemah anaknya dan menepuk-nepuk pipi gadis itu, berharap ia segera siuman.
Air matanya sudah tak terbendung lagi. Perasaannya tumpah ruah. Ia sungguh cemas dengan putri tunggalnya itu.
.
Prana belum juga siuman. Ia sudah berada di ruang rawat darurat dengan beberapa selang di tubuhnya.

"Saya tidak pernah melihatnya begini. Anak saya selalu sehat. Semenjak sebulan lalu ia sangat ceria. Ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya bahkan ia berencana bertualang dalam waktu dekat. Dan seminggu lalu ia tiba-tiba seperti kehilangan akalnya. Ia tidak bisa melakukan hal benar. Saya sangat khawatir." Nyonya Helmi mengungkapkan keresahannya ketika Dokter Tanu meminta keterangan.
"Ooh, ok. Kami akan segera melakukan serangkaian observasi pada pasien dan ibu akan dihubungi untuk urusan ini."
"Baik, dokter!" Jawab Nyonya Helmi sembari menyusut air mata dengan tissu.
"Ibu dan Bapak mohon tenang dan berdoa ya!" Imbuh Dokter Tanu.
Nyonya Helmi mengangguk lalu beranjak keluar ruangan. Pak Helmi menuntunnya.


To be continued

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...