Minggu, 28 Januari 2018

A letter for Prana

Gadis berwajah Asia itu pias, air mata sudah tersusut habis dari kantung air mata. Ia duduk tenang di atas balkon lantai dua. Matanya menerobos gerimis yang turun seperti tirai tipis di depannya. Jauuh sekali ia memandang. Hingga berulangkali suara panggilan tak didengarnya.
"Prana ... Prana ....!"
Ia tetap diam, tak mendengar apapun di sekelilingnya. Bahkan guntur yang menggelegar baru saja, yang mengejutkan seorang perempuan yang sedari tadi memanggil-manggil namanya hingga berteriak tetap tidak  membuatnya bergeming.
"Oh, Tuhan, mengherankan sekali!" Gumam perempuan itu.
Sudah seminggu Prana bersikap demikian.
Perempuan itu mendekat, memeluknya lalu berbisik, "Lepaskan yang ada di pikiranmu, Nak! Ayo makan dulu."
Lalu perempuan berumur 54 tahun itu menyentuhkan sesendok bubur hangat di bibir Prana.
Gadis itu bergerak sedikit seperti menyadari sesuatu. Matanya seolah memandang wajah ibunya. Namun, nyatanya tidak. Bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak sepatah katapun keluar. Perempuan itu  tahu ia lapar tetapi tak hendak makan. Yang menyedihkan adalah ia tahu Prana patah hati namun ia tidak tahu mengapa sampai begini. Karena ini bukan yang pertama dan biasanya gadis itu akan ceria kembali.
"Nak, makanlah barang sesuap!" Perintah perempuan itu yang tak lain adalah Nyonya Helmi, ibu dari gadis itu.
Kekhawatirannya sudah berlebihan hingga ia meneteskan air mata. Ia coba menyuapkan kembali bubur itu dan nihil. Lalu ia menyampirkan sebuah selimut ke tubuh Prana agar tubuh itu merasa hangat. Malang, sedetik tangannya terangkat dari tubuh Prana, si gadis tiba-tiba terkulai lemas dengan mata memejam.
"Ayah ... Ayah ... !" Teriaknya panik memanggil sang suami.
Beberapa menit kemudian seorang lelaki datang tergopoh-gopoh sembari membetulkan sarung yang hampir melorot. Peci putih masih bertengger di kepalanya. Menandakan ia baru saja selesai shalat maghrib.
Berdua, kedua suami istri itu menggotong tubuh Prana ke dalam rumah. Menidurkannya di atas kasur busa lalu dengan sigap sang Ayah menelpon rumah sakit agar mengirim ambulan.
Nyonya Hesti berdiri dengan tubuh tegang. Sesekali tubuhnya membungkuk memeluk tubuh lemah anaknya dan menepuk-nepuk pipi gadis itu, berharap ia segera siuman.
Air matanya sudah tak terbendung lagi. Perasaannya tumpah ruah. Ia sungguh cemas dengan putri tunggalnya itu.
.
Prana belum juga siuman. Ia sudah berada di ruang rawat darurat dengan beberapa selang di tubuhnya.

"Saya tidak pernah melihatnya begini. Anak saya selalu sehat. Semenjak sebulan lalu ia sangat ceria. Ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya bahkan ia berencana bertualang dalam waktu dekat. Dan seminggu lalu ia tiba-tiba seperti kehilangan akalnya. Ia tidak bisa melakukan hal benar. Saya sangat khawatir." Nyonya Helmi mengungkapkan keresahannya ketika Dokter Tanu meminta keterangan.
"Ooh, ok. Kami akan segera melakukan serangkaian observasi pada pasien dan ibu akan dihubungi untuk urusan ini."
"Baik, dokter!" Jawab Nyonya Helmi sembari menyusut air mata dengan tissu.
"Ibu dan Bapak mohon tenang dan berdoa ya!" Imbuh Dokter Tanu.
Nyonya Helmi mengangguk lalu beranjak keluar ruangan. Pak Helmi menuntunnya.


To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...