Senin, 29 Januari 2018

Bercermin dari Mandor Senan

Hampir setiap pagi aku melalui jalan mulus kecil selebar dua mobil. Jalan mandor Senan namanya. Entah sejak kapan aku suka dengan jalan ini.  Berangkat mengantar dan menjemput anak seringkali melalui jalan ini. Penghubung antara Metland Transyogi dan Metland Cileungsi (dahulu disebut Taman Cileungsi).

Pagi tadi pun aku melaluinya. Mengendarai sepeda motor dengan bermuatan penuh empat penumpang dan tas-tas. Secara sekilas aku melihat pemandangan menarik di satu sisi jalan itu.

Seorang ibu di atas sepeda motor, di belakang punggungnya melekat seorang bocah kecil berumur sekitar tiga atau empat tahun, berhenti di depan sebuah rumah dan kulihat sedang menoleh dan berteriak kepada anak gadis berusia SMP yang baru saja menutup pintu gerbang rumah tersebut dan mengambil pekerjàan rumahnya yang terbuat dari sterefoam dari jalan. Melihat bentuknya yang patah aku tahu telah terjadi kecelakaan atau keteledoran kecil yang menjadi awal hari yang kelabu bagi gadis berseragam biru putih itu.

Kulihat dari sikapnya yang hanya diam dan membereskan sterefoam itu ke dalam plastik besar yang membungkusnya. Aku tahu si gadis menahan duka. Ia memilih menelan bulat-bulat kalimat ibunya demi banyak hal. Pagi itu waktunya sempit,  kecelakaan sudah terjadi, ia sangat kesal dengan rasa yang bertumpuk namun tak boleh ia melawan ibunya. Dosa.

Aku tidak suka cara ibu yang kelihatan masih muda itu menghardik si anak gadis yang kuduga adalah anaknya sendiri. Karena mengingatkanku pada kesalahan-kesalahan sikapku pada anak-anak saat aku tak lagi mampu menahan sabar oleh tingkah polah mereka.

Sungguh aku tidak suka. Melihat wajahnya yang kaku, seolah diriku sedang bercermin. Alangkah jeleknya aku ketika sedang marah seperti itu. Tak seorangpun mungkin mau mendekat.

Tidakkah si ibu menyadari bahwa si gadis sedang berduka? Tentu saja tidak. Ia tidak tahu bahwa amarahnya menambah duka si gadis.

Si gadis tentu saja kecewa karena pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan hari itu juga, rusak. Entah apa yang harus ia katakan di sekolah. Kalau itu dinilai, tentu nilainya hilang atau berkurang. Kalau mendapat tangguh waktu untuk mengulang, ia akan membayarnya dengan tanggung jawab dan pelajaran berharga dan tentu saja 'luka cacat'.  Meski aku tahu itu seperti pekerjaan kelompok. Ditinjau berdasar kebutuhan,  bentuknya yang berupa sterefoam lebar yang dilapis kertas warna, biasanya dikerjakan secara berkelompok.

Aku tahu si gadis tak menghendaki celaka apapun. Namun, kurang telitinya membuat pekerjaan itu rusak. Pelajaran bagi dia adalah, ia mesti lebih memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia akan tahu ketika umur dan pengalamannya bertambah.

Aku tahu ibu itu tak menyadari saat itu sikapnya buruk. Karena ia berfokus pada pikirannya yang penuh dan rasa kesal yang minta diluapkan. Namun, ibu yang bijak akan segera menyadari bahwa sikapnya itu bodoh dan butuh diperbaiki.

Ooh, memang kadangkala kita adalah ibu yang buruk. Yang terbawa oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Yang tidak bisa melihat masalah yang sesungguhnya. Dari sisi lain.

Sungguh, banyak pelajaran yang harus dipetik dan dijadikan contoh. Dan banyak sikap yang harus diperbaiki.

Kita ibu dunia, karena saat melahirkan anak perempua, kita melahirkan calon ibu yang akan melahirkan anak-anak hebat. Ketika melahirkan anak laki-laki, kita sedang melahirkan para pemimpin.
.
Kita ibu, yang pertama dipanggil ketika anak kita lahir. Kita ibu yang seharusnya mengenali anak-anak kita sendiri. Kita ibu yang diberkahi perasaan lebih lembut dan peka.
Ibu yang menjadi guru, pendamping,  pembela, pelatih, dan masih sejuta peran yang bisa kita mainkan. Ibulah yang utama dan pertama. Maka Allah hadiahkan ibu kebanggaan, surga anak ada di bawah tapak kakinya. Lalu ....

Kita, ibu yang dianugerahi Allah kemuliaan itu atau bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...