Senin, 16 Oktober 2017

Kasih Yang Tersisa

Aku mencium sesuatu di pagi hari dan ingin muntah. Sakit kepala semenjak kemaren membuatku tak bisa tidur nyenyak semalaman, menambah deritaku. Ada apa denganku? Berulang-ulang kutanya pada diri sendiri. Kutanya pada setiap inci tubuhku. Kepalaku, mataku, telingaku, perutku, dan semuanya. Tidak ada yang menjawab.

Lalu aku memutuskan bahwa aku sehat. Aku pergi mandi dan bersiap untuk pergi bekerja seperti biasa. Kupakai baju merah kesukaan dengan harapan memulihkan mood hari itu. Beberapa menit kemudian, aku telah mengendarai mobil dengan kecepatan sedang di jalan raya yang berarus normal.

Di separuh perjalanan, keanehan terjadi. Tiba-tiba pandangaku kabur. Setengah kesadaranku hilang dan dalam kegelapan aku hanya mendengar suara keras 'brakkkkk!' Sangat keras hingga menyisakan hitam dan sunyi di pikiranku.

Ketika akhirnya aku membuka mata di hari keempatbelas, semua yang ada di depanku nampak samar. Cukup ramai di sekelilingku namun tak kukenali mereka. Aku hanya mendengar sebuah suara lembut di telinga kananku, "Selamat datang, Sayang! Alhamdulillah, kamu selamat." Pelahan aku mengenali suara itu. Dia suamiku. Dari mulutnya pula aku mendengarkan semuanya. Itu adalah kecelakaan parah di hari senin pertama bulan Juli. Mobilku meluncur tanpa kendali menabrak sebuah warung di pinggir jalan hingga roboh. Kenyataan lain adalah aku hamil untuk pertama kali dan kehilangan untuk selamanya. Tak kan pernah bisa mengandung lagi, begitu klaim dokter. Kenyataan terakhir, aku cacat.

Oooh ....

Apa yang bisa kulakukan setelah tahu semuanya? Menangis, menolak, menyesal, atau komplain pada Tuhan? Tentu saja benang ruwet itu memenuhi kepalaku.

Aku menghirup udara segar. Membiarkannya mengalir ke setiap nadiku. Kecelakaan itu sudah terjadi dan akan menjadi masa laluku. Mau atau tidak, aku telah menjadi orang yang berbeda. Dari posisi puncak menjadi paling rendah. Aku bukan lagi orang paling top, paling pandai, dan paling cantik seperti orang-orang bilang di lawyer company terkenal itu.

Namun aku tetap menyimpan kata-kata termanis dari mantan suamiku di hari perceraian sebagai ganti dirinya, "Kau tetap ratu terbaikku. Kau yang mengangkatku dari jurang rendah menuju puncak!"

Ya, aku menggugat cerai agar ia bisa melanjutkan hidupnya meski dia menolak, menangis, dan memohon-mohon padaku. Aku tetap bersikukuh dan berjanji akan menyimpan air mataku sendiri.

Tak tahu caranya menemukanku setelah aku bersembunyi dari keramaian. Ia datang untuk pertama kali di tahun kelima pernikahannya dan rutin mengunjungiku setelahnya. Menemaniku seharian penuh seolah hendak mengembalikan masa lalu. Terkadang ia membawa serta istri dan atau anak-anaknya.

"Ooh, Tuhan! Tak perlu aku bicara banyak. Kau tahu apa yang terjadi di hati dan pikiranku."

Setiap kali melepasnya pergi, di atas kursi roda, aku memandang punggungnya dan membatin, "Andai kubisa bilang sesungguhnya setiap kau datang kau membalut luka dan setiap kau pergi kau membukanya kembali."

Untuk urusan ini aku merasa perlu bertanya kepada Tuhan tiap kali, "Mengapa Kau datangkan ia kembali padaku? Untuk apa? Agar aku menyadari ketulusannya?"

"Aku sudah tahu  dan memilih diam."
***
Prana, 17 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...