Minggu, 04 Februari 2018

Bukan itu yang kuingin (1)

"A cup of coffee, please ...."
"Less sugar!" Aku menyahut sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Lalu kami tersenyum bersama-sama.
"Amboi, manis rupa senyumnya itu." Gumamku sembari meliriknya kembali.  Ia duduk di meja terdepan. Sendirian.
Tanganku sudah sibuk menuang air panas ketika ia berseru beberapa kali sambil melambaikan tangannya. Toni menyikut lenganku lalu menunjuk pria itu dengan dagunya. "Suddently, I want some coffee with milk! So, make one for me!" Matanya tajam, membuatku gugup dan aku hnya sanggup mengangguk- angguk dengan hati masygul.

"Ia pria tampan, Lola!" Goda suara dalam hatiku.
"Sst, diamlah. Aku sudah tahu semenjak pertama." Kata suara yang satunya lagi.
"Lalu, kenapa kau biarkan saja dia?"
"Apa maksudmu? Aku bukan wanita penggoda."
"Setidaknya kau tanyalah orang mana dia itu?"
"Entahlah, aku suka melihat hidungnya, matanya, alisnya, dan senyumnya ...."
Kedua suara itu terus saja bercakap-cakap ketika sebuah suara lain datang menghampiri kesadaranku.
"Lola ... Lola ....!"
"Eh, ya ya?"
"Kau ini ceroboh. Kau menumpahkan susunya! Dan orang itu menatapmu terus."
Aku segera menyeka tumpahan susu dan membersihkan cangkir dari ceceran susu dan memeriksa apakah takarannya tetap pas. Aku bernapas lega saat semua beres. Syukurlah.
Aku melirik, "Oh jadi bukan perasaanku saja ya yang bilang begitu?" Aku menyadari tanganku gemetar.
"Ton, tolong antar ini ke tuan itu. Aku mau ke belakang dulu!"  Kataku sambil berlalu.
Namun, tangan Toni telah memegang lenganku, menahanku agar tidak menghindar. Aku diam sejenak.
"Apa Toni sama curiganya denganku?" hatiku gelisah. Aku tak mau membawa nampan dalam tangan gemetar. Tetapi, pandangan mata Toni menyerangku dan mengatakan 'harus profesional'. Mau tak mau aku mengantar sendiri kopi itu.
Gila, ia mengawasiku.
"Your coffee, Mr!" Sapaku lemah.
"Thanks!" Matanya sesaat beralih ke cangkir kopinya. Lalu menggesernya agar lebih dekat padanya. Namun sedetik kemudian, ekor mataku menangkap bola matanya yang hitam kembali mengawasiku.
Tiba-tiba aku jadi takut. Pesonany mendadak sirna.
Buru-buru aku kembali dan menuju toilet setelah meletakkan nampan begitu saja.

"Ooh, siapapun tahu kalau cara mengawasi orang lain seperti itu tidak sopan. Bahkan membuat takut." Kataku pada diri sendiri.
Aku memandang cermin. Tak ada orang ataupun cctv di situ jadi aku bebas bicara.
"Jangan-jangan ia menghadangku di jalan nanti. Ah, aku numpang nginep di kosan Tia saja." Aku mengatur napas banyak-banyak hingga pikiranku tenang.
"Tidak perlu takut, kamu bisa berteriak." Entah suara dalam diriku yang mana lagi yang tiba-tiba mendukungku.

"Aaww ..." Sebuah tangan menutup mulutku dan mataku terbelalak ketika menyadari orang itu adalah si Arab.
Jarinya diletakkan di mulutnya, menyuruhku diam dan tenang. Lalu dia menyilakanku duduk di kursi panjang di dekat toilet. Gelagatnya nampak baik jadi aku menurut.

"Are you, Lola?" Tanyanya setelah ia duduk di sampingku dengan sedikit jarak.

"Do you know Hussam, from Turkey?"
Aku mengangguk cepat-cepat. Tentu saja aku tahu. Ia berjanji akan datang sebulan  lalu untuk meminangku. Dan aku percaya padanya."Just wait me, I will come." Dan keterlambatannya ini melukai  pikiran dan hatiku. Kukonfim dia melalui messeger dan whatsapp, masuk tetapi nihil jawaban. Aku sudah menangis banyak tetapi Toni, sahabatku itu bilang "Menangislah sekali saja untuknya dan lupakan."
***
See the next


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...