Minggu, 04 Februari 2018

Bukan itu yang kuingin (2)

Lalu laki-laki asing yang membuatku takut bermenit lalu itu, tiba-tiba mengoyak jahitan luka yang belum sembuh dengan bertanya Hussam padaku. Hidungku pengar, mataku memanas, dan dadaku sesak. Aku berusaha keras menahan danu air mata melimpah. Namun, tak sanggup. Jadi kubiarkan diriku sesenggukan, menangisinya lagi. Aku menangis karena kecewa. Kecewaaaaa .... karena Hussam meninggalkanku tanpa bicara apa-apa.

Orang asing ini membiarkanku tersedu-sedu beberapa lama lalu memanggil namaku, "Lola ..."
Ah, seolah itu Hussam saja. Aku menyusut pilu. Menenagkan diri dengan menghirup napas dalam berulang-ulang. Dan, lelaki berhidung bengkok yang entah apa maksudnya ini menyodorkan sapu tangannya. Ragu aku menerimanya.
"Kau sudah tenang kini?" Tanyanya hati-hati. Bahasa inggrisnya bagus sekali, dengan logat Timur tengah sedikit. Aku mengagumi caranya berbicara. Ia aneh tapi sangat tenang. Membuatku percaya padanya. Aku mengangguk untuk menyampaikan padanya bahwa aku sudah siap mendengarkannya.
"Lola, aku menyampaikan sebuah amanh dari Hussam."
"Ah, lagi-lagi ..." Aku melengos.
"Kau tak ingin mendengar?"
Kutatap matanya yang hitam, sebuah kejujuran memancar dari sana. "Baiklah, katakan saja!" Perintahku. Aku sudah yakin aku bisa menerima kabar pahit yang akan ia sampaikan.
Ia menghela napas, membuatku curiga dan tidak sabar.
"Hello ...just tell me. Who are you and what messages?"
"Okay ... Aku saudara dekat Hussam ...."
"What??" Teriakku
"Tenang, Lola!"
"Aku tenang, hanya terkejut dan marah. Mengapa ia tidak menemuiku sendiri."
"Itulah yang ingin kusampaikan!" Aku diam, memasang kuping.
"Hussam ... meninggal dua minggu lalu."
"Ooh ... !" Aku menggelengkan kepala. Meyakini bahwa ini tidak benar. Tangisku pecah lagi. "Tak mungkin" kataku lemah. Tenagaku habis oleh berita itu dan lupa segala yang kudengar dan kulihat. Pingsan.

"Kau baik-baik saja?" Ia menyodorkan sebotol air ketika aku siuman dan berusaha duduk dengan benar. Beberapa orang tampak mengerumuniku, termasuk Toni. Aneh. Ia tidak panik melihatku down begitu. Mencurigakan tetapi aku tak mau memikirkannya. Orang-orang berlalu tanpa banyak tanya, termasuk Toni. Sekali lagi aneh.

Setelah aku bisa mengendalikan diri, laki-laki itu menunjukkan foto-foto kecelakaan mobil, saat Hussam  opname dua minggu karena kritis, dan saat pemakamannya. Ya, itu foto Hussam. Ia mengumpulkan semua berita itu untuk disampaikan padaku bahwa itu fakta, bukan bualan. Aku menghapus air mata, menyesal dan sedih sekali. Benar. Ia pergi tanpa pesan.

Laki-laki di sebelahku melanjutkan, "Ia membeli sesuatu dari toko emas pada hari nahas itu dan saat masa kritisnya ia menyuruhku mencarimu sebagai gantinya. Ini."Aku menerima benda kecil yang dibungkus rapi dan berpita merah itu dengan tangan gemetar, sementara air mata masih saja menetes, mengaburkan pandanganku sesekali.
"Bukalah agar kita tahu apa isinya."
Aku menarik simpul pita lalu menyobek kertas pembungkus dan membuaka tutup kotak kecil berukuran  3 x15x20cm.
Kilauan kuning memancar dari dalam kotak.  Ada sebuah kalung emas yang indah dengan liontin : Lola. Aku menarik secarik kertas yang terselip di tepi kotak. "Wear me ... hussam."
"Ooooh ... Maafkan aku Hussam... Maafkan. Aku bukan menginginkan ini namun menginginkanmu." Aku hanya bisa berteriak-teriak dalam hati. Lalu enyerahkan kotak berserta isinya kepada pria asing itu dan berlari ke toilet sambil terisak-isak.

Pria asing itu tak tahu harus berbuat apa. Ia menunggu saja di tempatnya semula. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa Hussam mencintai gadis ini yang hanya pelayan kafe. Aku tahu Hussam seumur hidupku.  Ia tak mencintai sembarang orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...