Kamis, 16 Maret 2017

Kenangan : Bapak 1


Diam-diam Mengajarkan Prinsip dan Harkat

Perasaan kehilangan mungkin dimiliki oleh semua orang. Kehilangan beñda, hewan piaraan, atau orang yang disayangi. Pada intinya, perasaan kehilangan itu muncul karena ada rasa sayang yang terputus.
Kehilangan memancing perasaan sedih yang mendalam, yang mungkin akan terkenang-kenang hingga waktu yang lama.

Perasaan itulah yang aku alami, sesekali muncul di kehidupan sekarang. Perasaan kehilangan pada sosok "hero", bapakku yang meninggal sepuluh tahun lebih lalu. Dan aku selalu ingat, hari itu adalah hari jumat.
Mengapa demikian?
Karena perginya begitu tiba-tiba.
.
Aku menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 2 bulan dan tidak pulang ke rumah. Setelah selesai, aku pulang ke asrama. Belum sempat aku pulang ke rumah, tiba-tiba sebuah telepon mengejutkanku.
"Mbak, yang tenang ya!" Begitu suara di ujung telepon. Suara paman, suami dari adik ibukku. Tentu saja aku bertanya, "Ada apa?"
"Tapi yang tenang ya mba!"
Huh, tentu saja malah bikin aku tegang, "Ada apa sih, Oom?"
"Bapak jatuh dari pohon, saat tebang ranting. Tetapi sekarang sudah ada di rumah sakit kabupaten. Kalau bisa pulang, pulanglah. Hati-hati ya, tidak usah ngebut." Begitu pesan si Om. Suaranya dibuat setenang mungkin seolah everything  is okay.

Aku tidak pernah tahu bahwa saat itu adalah saat-saat terakhir bertemu bapak.
Aku mengendarai motor dengan gundah, menempuh perjalanan kurang lebih 30 km dan alhamdulillaah sampai tujuan dengan selamat satu jam kemudian.  Di sana sudah ada ibu yang mukanya sembab. Ibu langsung mengajakku masuk ruang UGD.

Sore, sekitar pukul 16.00  sampailah berita bahwa di rumah sakit kabupaten ini dokter sedang tdk available. Jadi keluarga memutuskan untuk membawa bapak ke rumah sakit di kota propinsi, dengan harapan segera ditangani. Rumah sakit ini lebih dekat dengan asramaku. Apapun itu, mau kritis atau tidak, prosedur rumah sakit tetap dijalani.
Dan aku sedih mendengar kabar bahwa kesadaran bapak kian menurun. Hal ini disebabkan oleh gumpalan darah yang menyumbat pembuluh di otak akibat benturan benda keras saat terjatuh.
.
Singkat kata, ada dua opsi kala itu. Membiarkan gumpalan itu tetap ada di kepala atau melakukan operasi untuk mengambilnya dengan resiko nyaris sama dengan membiarkannya. Gagal-berujung pada maut.

Waktu itu menjelang maghrib, aku menemani ibu menemui dokter bedah di kediamannya.
Sebenarnya aku agak tersinggung ketika dokter tersebut mengatakan , "Jadi opsinya dua itu ya, Bu. Kalau mau operasi, saya siapkan semuanya. Semua terserah Ibu. Namun, jangan sampai menuntut apabila operasi ini tidak berhasil. Karena faktor keberhasilannya kecil, hanya 50-40%. Kalau berhasilpun, Bapak tidak bisa pulih seperti semula, keluarga harus sabar karena mentalnya yang kena. Kalau gagal, ya...." Kata dokter bedah itu sengaja menggantung kalimatnya sambil menunjukkan hasil rontgen kepala Bapak.

Aku tahu kelanjutannya. Aku menahan amarah mendengarnya. Paragrafnya bernada pesimis dan seperti menganggap masalah ringan. Ini menyangkut nyawa. Nyawa bapakku.
Apa yang harus aku lakukan dengan dua opsi yang sama-sama pahit itu? Waktu itu sangat mendesak. Harus segera mengambil tindakan. Jadi aku mengatakan ambil jalan operasi saja pada ibu saat minta pendapatku. Operasi adalah sebagai upaya penyelamatan. Daripada membiarkan gumpalan di kepala itu semakin menurunkan kondisi bapak. Haaah bagaikan buah simalakama. Aku saja harus menguat-nguatkan diri. Seolah keputusan itu benar adanya. Jujurnya sih begitu.

Hatiku hancur setelah ibu menandatangani surat perjanjian operasi itu. Aku sebenarnya tidak bisa memilih di antara dua. Jadi, aku tetap berharap pilihanku benar. Aku ingin bapakku sehat kembali. Aku hopeless. Aku merasa kalah. Dan aku harus menyerah, pasrah pada kehendak-Nya.

Aku ingin menangis tetapi tidak ada air mata yang keluar.
Operasi dilakukan malam itu juga. Hatiku bergetar menunggu kabar. Setelah 1,5 jam kemudian dokter mengabarkan kalau operasi berjalan lancar dan tinggal menunggu masa kritisnya lewat. "Ibu yang sabar, manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan."
Aku sebenarnya tidak suka kalimat dokter itu. But...I can't do anything.
 .
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kucing

Hanya terdengar dengung kipas angin yang menempel di tembok, detak jantung jam dinding, bunyi kemeruyuk di dalam perutku, dan tarikan napask...